Strategi Bisnis
Six Sigma
Situasi kompetisi dewasa ini tidak memberikan sedikitpun ruang bagi perusahaan untuk berbuat salah. Perusahaan harus benar-benar memuaskan pelanggannya dan selalu berupaya mencari cara baru untuk memenuhi permintaan pelanggan melebihi harapan-harapan pelanggan. Six Sigma memberikan solusinya.
Globalisasi dan kemudahan akses terhadap informasi, perkembangan produk dan jasa yang pesat telah mengubah bagaimana pelanggan bertransaksi dengan sebuah perusahaan. Model bisnis lama sudah tak bisa dijalankan lagi. Situasi kompetisi dewasa ini tidak memberikan sedikitpun ruang bagi perusahaan untuk berbuat salah. Perusahaan harus benar-benar memuaskan pelanggannya dan selalu berupaya mencari cara baru untuk memenuhi permintaan pelanggan melebihi harapan-harapan pelanggan. Untuk itulah, selalu diperlukan strategi bisnis handal yang dilandasi filosofi dasar manajemen yang kokoh untuk tampil sebagai barisan terdepan dalam penciptaan nilai (value) kepada pelanggan.
Sekitar delapan (8) tahun yang lalu penulis pernah menulis artikel di majalah ini bertajuk “Memperkenalkan Konsep VALUE dalam Manajemen Strategi” yang tepatnya dimuat oleh majalah ini dalam edisi no. 8 Tahun XXIII Agustus 1994. VALUE yang pada dasarnya adalah sebuah singkatan dari “Vision and Action will Lead Us to Excellence” telah mengusik penulis lebih jauh lagi dalam implementasi konsep tersebut dalam dunia praktek bisnis. Bagaimana “action” yang dilakukan berdasarkan vision / mission dari perusahaan benar-benar membawa ke excellence? Terdorong dengan pertanyaan ini, kemudian penulis dengan sengaja menimba pengalaman lebih jauh lagi dalam dunia implementasi strategi. Akhirnya, sekitar lima tahun yang lalu penulis mengenal dan menggeluti langsung implementasi sebuah konsep strategi bisnis Six Sigma. Six Sigma telah secara sukses diterapkan oleh perusahaan global seperti Allied Signal, Motorola, General Electric, CitiGroup, Caterpillar dan beberapa deretan perusahaan terkemuka lainnya. Peranan Six Sigma sangat krusial dalam penciptaan nilai (value) kepada pelanggan yang pada akhirnya membawa perusahaan ke barisan terdepan. Strategi bisnis Six Sigma adalah sebuah model bisnis yang sangat bagus karena visi langsung diterjemahkan dalam action dengan ukuran yang dimonitor ketat melalui performance tracking.
Apa itu Six Sigma?
Sebelum menjawab Six Sigma, kita perlu tahu apa itu “sigma”? Sigma bisa dikatakan adalah sebuah ukuran seberapa bagus (a measure of goodness) hasil dari sebuah proses.Yang jelas, ini bukan sekadar slogan manajemen atau sekedar nama baru dalam manajemen modern. Sedangkan Six Sigma adalah strategi bisnis yang menitik-beratkan fokus kegiatan atau proses usaha pada penciptaan produk dan jasa yang “mendekati” sempurna. Mengapa “mendekati” sempurna? Karena tidak ada yang sempurna di dunia ini, selama itu ciptaan manusia pasti ada faktor kesalahan (defect) yang dikandungnya. Mengapa memakai istilah “sigma”? Karena ini berasal dari kaidah statistik yang mengukur seberapa jauh sebuah proses penciptaan produk dan jasa menyimpang dari sempurna. Semakin kecil sigma, maka semakin menyimpang dari sempurna. Gagasan yang melandasi Six Sigma adalah bahwa bila Anda bisa mengukur berapa banyak “kesalahan” (defect) yang anda punyai dalam sebuah proses, secara sistematik Anda bisa merencanakan bagaimana bisa mengeliminir dan membawanya mendekati “zero defect”.
Semakin besar sigma, maka semakin mendekati sempurna hasil yang kita dapatkan dari proses usaha kita. Sebagai contoh kita akan lihat apa arti 3 sigma dan kemudian kita bandingkan dengan 6 sigma. Apa yang kita peroleh dari perusahaan yang beroperasi dengan 3 sigma?
Sekurangnya ada 54 ribu kasus salah pemberian obat oleh dokter per tahun;
Lebih dari 40 ribu bayi yang baru dilahirkan, jatuh dari gendongan dokter atau bidan per tahun;
Sekurangnya ada 4 kecelakaan pesawat terbang pada pelabuhan udara sibuk di dunia, setiap hari;
Sekurangnya terjadi 1,350 kesalahan pembedahan per minggu;
Sekurangnya terjadi 54 ribu surat yang hilang per jam.
Sedangkan perusahaan yang beroperasi dengan 6 sigma memberikan dampak berikut:
Ada satu kasus salah pemberian obat dalam kurun 25 tahun
Tiga kasus bayi terjatuh dari gendongan dokter atau bidan dalam kurun 100 tahun, atau satu kasus dalam kurun 33 tahun
Satu kasus kecelakaan pesawat dalam 10 tahun di “semua” pelabuhan udara yang ada di dunia
Satu kesalahan pembedahan dalam 20 tahun
35 pucuk surat yang hilang per tahun.
Statistik tersebut sangat menggelitik. Sebagai manusia yang normal, tentu saja kita tidak menginginkan ada satupun kasus bayi terjatuh atau salah bedah bagi pasien. Hal ini sangat menakutkan sekali. Namun dunia nyata bicara fakta yang lain bahwa kesalahan-kesalahan tersebut “kadang-kadang” terjadi. Terus, kadang-kadang ada yang mengatakan “Yah, kalau hanya satu diantara seribu kejadian itu sih masih wajar”. Nah, hati-hati dengan ucapan ini karena hal ini berarti secara sadar kita mentolerir kinerja suatu perusahaan beroperasi dengan 4.5 sigma saja.
Pengukuran Mutlak Diperlukan
Sudah sering kali kita mendengar bahwa segala sesuatu yang kita lakukan atau sebuah perusahaan lakukan selalu kita harapkan semuanya berjalan dengan baik dengan hasil yang memuaskan juga. Dalam pengembangan produk baru, misalnya, kita selalu memiliki tujuan untuk menciptakan produk yang bisa memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan dan lebih baik dari pesaing. Dalam hal pelayanan terhadap pelanggan, misalnya, kita selalu memiliki kredo untuk selalu memuaskan pelanggan kita sehingga mereka menjadi loyal terhadap perusahaan kita. Sayangnya, semua atribut tersebut sering sekali tidak disertai oleh pengukuran yang praktis dan sederhana.
Penekanan utama dalam implementasi Six Sigma adalah mutlaknya pengukuran. Tanpa pengukuran, maka program Six Sigma akan sia-sia belaka dan akan tenggelam menjadi sebuah slogan manajemen saja. Ada dua hal pokok yang diukur dalam Six Sigma, yaitu: kesalahan (defect) dan waktu siklus (cycle time). Dalam pengukuran defect, six sigma berarti jumlah kesalahan sebanyak 3.4 DPMO (defects per million opportunity / kesalahan per satu juta kesempatan). Terus apa artinya? Artinya, bila sebuah perusahaan mengklaim dirinya telah mencapai 6 sigma berarti perusahaan ini hanya membuat 3 kesalahan dari satu juta produksinya, atau dengan kata lain ada 3 produk yang defect dari 1 juta produk yang dibuat. Coba bandingkan dengan toleransi kita terhadap “satu dari seribu kejadian” yang berarti 1000 DPMO atau berarti mau memberi toleransi tingkat kesalahan sebesar 294 kali lipat dari yang diperlukan oleh six sigma!
Mengapa yang diukur defect rate (tingkat kesalahan)? Sebelum kita jawab pertanyaan ini ada baiknya kita rumuskan terlebih dulu mengenai apa itu defect. Defect adalah segala sesuatu yang membuat pelanggan kita kecewa. Bila kita bicara mengenai sebuah restoran, defect bisa berarti tamu yang kecewa karena menu yang ia pilih dan ada di daftar menu ternyata tidak tersedia. Bisa juga bila pelanggan ingin mencuci tangan setelah makan ternyata wastafel tidak berfungsi, atau tidak bersihnya restoran, atau pelayan yang tidak ramah dalam melayani pelanggan. Dalam bidang perhotelan, defect bisa berarti tidak tersedianya kamar (fully booked) bagi pelanggan yang ingin menginap, petugas penerima tamu tidak ramah, function room belum siap pada saat yang dijanjikan.
Defect rate diukur karena hal ini merupakan hasil dari sebuah proses pemenuhan kebutuhan dan harapan pelanggan. Semakin kecil defect maka semakin mendekati sempurna produk / jasa yang kita sediakan dalam memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. Tingkat kesalahan (defect rate) inilah yang diukur trend nya sesuai perjalanan waktu melalui DPMO chart. Pengurangan tingkat kesalahan hanya bisa dilakukan melalui program perbaikan proses usaha yang terus menerus dilakukan (continuous process improvement).
Hal pokok lainnya yang diukur dalam Six Sigma adalah waktu siklus (cycle time). Waktu siklus adalah waktu yang diperlukan oleh proses usaha dalam pemenuhan kebutuhan dan harapan pelanggan mulai dari saat pelanggan menyatakan keinginannya terhadap produk atau jasa sebuah perusahaan sampai dengan pelanggan mendapatkan produk dan jasa tersebut dengan memuaskan. Bila perusahaan tersebut bergerak dalam ekspedisi pengiriman barang atau dokumen maka pelanggan akan menginginkan setidaknya dua hal utama, yaitu: paket sampai di tujuan dalam kondisi baik (tidak ada cacat) dan dalam waktu yang singkat sampai di penerima.
Terdapat dikotomi dalam waktu siklus ini. Pertama, ada yang beranggapan bahwa waktu siklus bisa dikategorikan sebagai defect juga karena pendapat ini memiliki persepsi bahwa waktu itu sendiri sudah merupakan defect karena pada dasarnya tidak ada orang yang mau menunggu. Pendapat kedua menyatakan bahwa waktu merupakan dimensi yang sampai batas tertentu tidak bisa dikurangi lagi dan bahkan tidak akan pernah bisa dieliminir. Tugas kita adalah bagaimana selalu berusaha mengurangi waktu siklus ini.
Gambar 1. DPMO Chart
Gambar 2. Tiga Komponen dalam Six Sigma
Tiga Komponen Utama
Tujuan umum dari Six Sigma adalah “mengurangi tingkat kesalahan dan waktu siklus” yang dilakukan secara terus menerus. Dalam filosofi Six Sigma ada tiga komponen utama yang menjadi pusat perhatian dan semua kegiatan usaha difokuskan pada komponen-komponen ini. Tiga komponen tersebut adalah: pelanggan (customer), proses usaha (business process) dan karyawan (employee). Ketiga komponen ini menjadi satu kesatuan terpadu yang tidak bisa dipisahkan. Penekanan hanya kepada pelanggan tanpa memperhatikan proses usaha yang stabil dan kepuasan karyawan, akan menyebabkan pemenuhan kebutuhan pelanggan yang bersifat sementara (temporary fulfillment). Penekanan hanya pada efisiensi proses usaha tanpa memperhatikan kepuasan pelanggan dan karyawan akan menimbulkan efisiensi tanpa dibarengi dengan efektivitas sehingga kelanggengan usaha tidak bisa dipertahankan. Perhatian hanya pada kepuasan karyawan tanpa perbaikan proses usaha dan peningkatan kepuasan pelanggan akan menyebabkan kebanggaan diri yang berlebih dan kehilangan fokus kepada pelanggan. Ketiga komponen tersebut harus dijaga keseimbangannya.
Pertanyaan selanjutnya adalah: “Lantas, dimana posisi stakeholder dalam six sigma strategy?” Pertanyaan ini cukup menggelitik dan sangat wajar ditanyakan karena banyak sekali referensi buku manajemen yang menyatakan pentingnya fokus pada stakeholders. Sebenarnya, dua dari komponen yang disebutkan dalam uraian di atas merupakan sebagian dari stakeholders juga, yaitu pelanggan dan karyawan. Hal ini sesuai dengan definisi umum stakeholders, yaitu semua pihak yang terlibat atau menjadi dampak dalam sebuah kegiatan atau transaksi usaha. Dua stakeholder lainnya adalah: pemilik (owner) dan lingkungan. Dalam filosofi Six Sigma faktor kepuasan pemilik dan juga lingkungan menjadi faktor yang dipertimbangkan juga. Bila pelanggan dipuaskan dengan proses usaha yang efisien dan efektif disertai kepuasan karyawan dalam menjalankan proses usaha, pada akhirnya bisnisnya akan berkembang, profit meningkat dan pemilik pun menjadi senang. Lingkungan usahapun menjadi lebih baik karena roda ekonomi berputar cepat dan sehat.
Komitmen Manajemen Puncak
Syarat mutlak keberhasilan implementasi Six Sigma adalah komitmen dari manajemen puncak (CEO) mengenai visi Six Sigma. Tanpa ada komitmen dari manajemen puncak, program Six Sigma akan menjadi program sia-sia yang tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi perusahaan. Larry Bossidi dari Allied Signal, Jack Welch dari GE, Glen Barton dari Caterpillar, John Reed dari CitiGroup (saat itu Citicorp) memiliki komitmen yang tinggi atas implementasi Six Sigma di perusahaan mereka masing-masing. Mereka menunjuk seorang Direktur dibawahnya langsung bertindak sebagai full time Six Sigma Deployment Director atau Quality Director. Direktur inilah yang kemudian langsung memimpin inisiatif implementasi Six Sigma di seluruh jajaran staff dan manager di perusahaannya masing-masing.
Mengapa perlu komitmen dari manajemen puncak? Karena implementasi Six Sigma pada fase awalnya lebih berat pada “behavioral” aspect daripada operasionalnya sendiri. Kebanyakan perusaahaan tidak terbiasa dengan “mengukur” defect , misalnya pelanggan yang kecewa karena tidak tersedianya barang, tidak tersedianya kamar hotel, tidak ramahnya petugas customer service, rusaknya paket pada saat diterima pelanggan, tidak sampainya surat ke pelanggan, dan masih banyak hal lain yang kelihatannya sepele tapi sangat penting bagi pelanggan. Membiasakan karyawan untuk secara disiplin melakukan pengukuran, terhadap hal-hal yang kelihatannya sepele tersebut perlu usaha serius dengan secara disiplin mengikuti langkah-langkah dalam manajemen perubahan (change management) yang sistematik.
Kesimpulan:
1. Metodologi Six Sigma merupakan solusi bagi perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya dalam memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan.
2. Six Sigma adalah sebuah strategi bisnis yang menitik-beratkan fokus kegiatan atau proses usaha pada penciptaan value produk dan jasa yang “mendekati” sempurna.
3. Tujuan utama yang ingin dicapai dalam Six Sigma adalah selalu berusaha meningkatkan kepuasan pelanggan melalui pengurangan tingkat kesalahan (defect) dan waktu siklus (cycle time).
4. Pengukuran terhadap kinerja proses usaha mutlak diperlukan dan dijalankan secara rutin.
5. Tiga komponen utama dalam metodologi Six Sigma adalah: pelanggan, proses usaha dan karyawan (SDM).
6. Untuk implementasi Six Sigma, komitmen dari manajemen puncak mutlak diperlukan. Manajemen Puncak biasanya menunjuk salah satu jajaran direksinya yang akan bertindak purna waktu dalam implementasi Six Sigma.
Sudahkah perusahaan Anda mempertimbangkan Six Sigma sebagai strategi bisnis? Kenapa tidak?
Bahan Bacaan:
1. Chowdhury, Subir, “The Power of Six Sigma” , Prentice Hall, 2001
2. “Memperkenalkan Konsep VALUE dalam Manajemen Strategi”, USAHAWAN edisi no. 8 Tahun XXIII Agustus 1994
3. Pyzdek, Thomas, “The Six Sigma Handbook”, McGraw-Hill, 2000
4. Pande, Peter S.; Cavanagh, Roland R.; Neuman, Robert P. “The Six Sigma Way”, McGraw-Hill, 2000
Oleh:
Gatot Widayanto
Director – Corporate Coaching International
Jakarta Office